Jiro Dreams of Sushi, Kisah Sang Maestro Sushi
Ada beberapa hal yang berubah setelah menikah terutama dalam ritme harian, kesehatan dan tentu saja kebersihan, hahaha. Salah satu yang menarik dari perubahan ritme adalah soal durasi istirahat dan juga durasi menghabiskan waktu bersama istri. Karena istri saya menaruh minat pada makanan maka menonton film yang berhubungan bertopik kuliner adalah rutinitas baru kami. Kebetulan juga di semester kedua tahun 2012 lalu saya merangkap pekerjaan sebagai salah satu bagian dari pre-opening team sebuah restoran baru di Jimbaran, jadi ya lengkaplah sudah alasan dan juga motivasi kami untuk menonton film-film itu.
Diantara film-film yang kami tonton ada beberapa yang menurut saya sangat cantik dan inspiratif, antara lain: Julie & Julia (2009), Big Night (1996), No Reservations (2007), Mondovino (2004), dan juga Food Inc (2008). Film-film tersebut punya warna dan atmosfer yang cantik untuk dilihat mata walaupun beberapa diantaranya adalah film dokumenter. Dinamika ceritanya juga menarik dan berhasil disampaikan dengan baik, setidaknya menurut saya.
Tapi ada satu film lagi yang menurut saya bisa disebut mendekati sempurna yaitu Jiro Dreams of Sushi (2011). Visual yang luar biasa detil dan jernih (apalagi file videonya HD), betul-betul mendukung setiap interview dan deskripsi tentang idealisme, sikap perfeksionis maupun sejarah panjang Jiro sang master sushi dan restoran sushi-nya, Sukibayashi Jiro (3-star Michelin Guide), yang begitu disegani di tanah Jepang.
Ketelitiannya dalam menyambut calon tamunya membuat saya merasa bahwa seperti itulah poersonalised service seharusnya. Reservasi adalah wajib dan daftar tunggu bisa mencapai 1 tahun hanya untuk mencicipi 20 tipe sushi yang disajikan dengan harga minimum JP¥ 30.000 per tipe. Jumlah, pemilihan tempat duduk, jenis kelamin dan kidal/tidaknya tamu mendapat perhatian khusus dari Jiro dan teamnya.
Saya sendiri sebetulnya tidak suka sushi karena saya tidak suka makanan mentah tapi pas nonton film ini yaa... Ya jadi tertarik juga, hahaha. Tapi tertarik bukan karena sushi buatan Jiro terlihat enak, melainkan karena karakter Jiro yang bisa dibilang seperti seniman eksentrik; testimoni dari kedua anaknya, wartawan kuliner setempat dan para supplier restorannya mengamini anggapan saya itu. Kebiasaan Jiro memilih bahan masakannya sendiri diwariskan pada anak tertuanya, Yoshikazu. Menurut saya scene di pasar seafood ini adalah salah satu yang paling menarik.
Caranya memilih dan memperlakukan bahan masakan: ikan tuna, udang, cumi dan bahkan beras jelas digambarkan dalam film, juga alasan-alasan yang membuatnya melakukan hal-hal yang menjadi standarnya cukup membuat saya geleng-geleng kepala. Scene di kitchen ini adalah salah satu bagian yang paling menarik.
Menonton film ini seperti menonton anime atau membaca komik memasak dimana proses untuk mencapai bentuk ideal sangatlah panjang dan butuh totalitas. Sushi yang cuma selebar dua jari jadi terlihat seperti karya seni, restoran kecil Jiro yang cuma muat 10 tamu jadi terlihat seperti workshop melukis/mematung. Sukar dipercaya bahwa proses yang panjang itu berakhir dalam wujud yang sangat sleek, minimalis, sederhana khas Jepang. Ideologi dibalik simplicity itu yang mungkin susah kita tangkap dan implementasikan dalam berkarya di dunia nyata, kecuali mungkin untuk Steve Jobs.
Oke, selamat menonton!
Comments
Post a Comment