Stimulasi Simulasi

Perkembangan peradaban manusia telah membawa dampak tak ternilai pada salah satu hal yang paling sering kita anggap sepele: bahasa. Bahasa adalah wujud kesuksesan umat manusia dalam memberi makna, memahaminya, dan mendistribusikannya secara kolektif menggunakan aneka simbol yang dinamis. Kemampuan berbahasa menjadi salah satu pembeda antara manusia dengan, misalnya, hewan. 

Seiring dengan kemajuan peradaban, bahasa pun berevolusi dan terimplementasi dengan beragam cara dan bentuk. Bahasa visual sebagai perpanjangan dari bahasa tanda adalah salah satu yang paling primitif tapi rupanya menjadi trend belakangan ini. Terbukti dari maraknya branding, periklanan, dan yang termutakhir adalah ergonomi visual yang banyak dijumpai pada desain produk, desain informasi (termasuk signage dan infographic) dan tampilan antarmuka.

Sayangnya, sebagaimana dijabarkan Paul Baudrilard pada dekade 80an, pesatnya kemajuan teknologi informasi memicu kaburnya batasan antara realita dengan simbol/tanda yang digunakan untuk menyimbolkan realita itu sendiri. Contoh sederhananya adalah fanboy sebuah merek tertentu. Merek/brand teknologi menjadi solusi palsu bagi mereka yang sebetulnya mendambakan teknologi sebagai solusi untuk sebuah permasalahan; tidak penting lagi apakah fungsi sebuah produk sesuai dengan kebutuhan kita asalkan produk itu mereknya A. 

Contoh lain yang barangkali diluar kesadaran kita adalah taman hiburan bertema seperti Universal Studios, Disneyland, Trans Studio, dan semacamnya, dimana fiksi direproduksi dalam dunia nyata. Atau bisa juga sebaliknya, realita yang direproduksi dalam dunia maya seperti pengalaman berinternet termasuk media sosial dan video game. Hasilnya adalah simulasi dimana kita meyakini yang tidak nyata sebagai sesuatu yang nyata. Musisi Joni Mitchell bercerita soal simulasi ini dalam lagunya, Big Yellow Taxi; "they took all the trees, put them in in a tree museum, and they charged the people  a dollar and a half just to see them".

Dalam hal ini kita sebagai manusia terjebak dalam dunia tanda. Kemampuan kita untuk membedarakan antara kenyataan dan simulasi semakin menurun atas kesadaran kita sendiri. Bahasa kasarnya adalah masturbasi. Yup, kita mendapatkan pengalaman enak yang semu dengan bermasturbasi sembari memproyeksikan adegan intim di dalam benak kita sendiri tanpa harus melakukan hubungan seksual. 

Maaf, mungkin postingan ini terlalu meracau, tapi sebetulnya dunia makanan juga tak luput dari hal-hal di atas. Di kuarter pertama tahun 2014 ini muncul berita yang cukup heboh tentang bisnis daging selebriti yang dilakukan oleh Bite Labs. Bite Labs menyediakan salami yang ditumbuhkan dari jaringan daging para selebriti top antara lain James Franco, Jennifer Lawrence, Kanye West, dan Ellen deGeneres. Begini bunyi kutipan yang diambil langsung dari websitenya tanpa saya edit; We mix celebrity and animal meats, grown in house through a proprietary culturing process, into curated salami blends. Starting with biopsied myoblast cells, we grow our healthy, rich, meats in Bite Labs’ own bioreactors. 

Menurut saya Bite Labs menggabungkan dua elemen yang dikemas jadi satu dalam mereknya yaitu fetishism dan teknologi in-vitro meat. In-vitro meat adalah daging yang ditumbuhkembangkan di luar tubuh. Singkat kata, daging itu ditumbuhkan di laboratorium dari sebuah jaringan mikroskopis dari daging yang asli. Tujuannya adalah menghindari krisis daging yang kelak akan terjadi akibat kelebihan populasi dan mahalnya air serta lahan ternak. Di sisi lain obsesi kita pada selebriti memang sering tidak masuk akal. Ide daging selebriti ini sekilas mengingatkan kita pada film Antiviral (2012) besutan sutradara Brandon Cronenberg. Film ini bercerita tentang Lucas Clinic, sebuah klinik yang modal bisnisnya adalah membeli virus dari tubuh selebriti yang sedang sakit untuk kemudian dijual kepada para penggemar dari selebriti tersebut.

Di dunia nyata, fetishism ekstrim pada selebriti ditunjukkan dalam beberapa lelang barang milik selebriti yang tidak masuk akal:
  1. Sisa sarapan Justin Timberlake: Sepotong roti bakar yang baru separuh digigit Justin dilelang dan laku dengan harga lebih dari $3000
  2. Permen karet bekas kunyahan Britney Spears: Dilelang di Ebay dengan harga $14000
  3. Gigi geraham John Lennon: Laku seharga $30000
  4. Bekas tisu yang dipakai Scarlett Johansson: Laku seharga $5300
  5. Toples berisi hembusan nafas Brad Pitt dan Angelina Jolie: Hembusan nafas ini berhasil "diabadikan" dalam sebuah toples oleh seorang penggemar ketika pasangan aktor-aktris tersebut berjalan di karpet merah. Harga jualnya mencapai $530

Konyol memang. Tapi lima poin di atas benar-benar terjadi terlepas kejadiannya dipicu karena iseng ataupun serius, dan apa efek yang pembeli dapatkan, misalnya, setelah mendapatkan toples berisi hembusan nafas Brad Pitt?! Disitulah letak permasalahannya. Sensasi yang didapatkan oleh penjual dan pembeli nafas Brad Pitt tidak bisa dijelaskan karena memang tidak ada esensinya.


Saya terkadang kesulitan membayangkan seperti apa tingkah laku spesies kita 100 tahun lagi. Apakah kita masih akan makan dan minum seperti sekarang? Apakah keturunan kita masih akan berpikir bahwa makan dan minum adalah kegiatan mendasar untuk menjaga metabolisme kita agar tetap fit? Atau dia akan berubah menjadi kegiatan yang jarang dilakukan untuk menjaga agar tubuh tidak gemuk dan hanya dilakukan ketika menemukan makanan yang bentuknya indah dan disajikan di tempat yang cantik? Entahlah.

Stimulasi Simulasi: Bite Labs


Comments

Popular posts from this blog

Daging Biksu Tong

Rayjin Teppanyaki Dining Bar

Pasar Atom Surabaya